Monday, September 27, 2004

Alkisah bawang merah&bawang putih

Jaman berganti, kini bawang merah dan bawang putih tidak lagi tinggal di tepi sungai. Sehingga tidak ada lagi buah yang terbawa sampai ke pemukiman mereka. Sekarang bawang merah dan bawang putih hidup di kota metropolitan. Satu hal yang tidak berubah adalah mereka itu bukan serentengan bawang yang berwarna sama, mereka itu tetap beda dan tetap lain.

Karena jaman sudah maju, pergi kuliah lah mereka. Bawang putih punya teman-teman dekat, mereka kemana-mana selalu bersama. Sedangkan bawang merah itu independent, kemana-mana selalu sendiri. Bawang merah pun cenderung cuek, sehingga temannya banyak yang laki-laki. Bahkan mayoritas laki-laki. Karena itu banyak yang memandangnya remeh, entah perempuan gampangan, atau minimal pilih-pilih teman. Tapi sebenarnya bawang merah bukan orang seperti itu, hanya saja ia punya satu prinsip. Yaitu tidak perduli kata orang, selama mereka bukan orang yang menghidupinya.

Tahun demi tahun berlalu. Bawang putih selalu dianggap baik seperti cerita jaman dahulu. Dan selalu bawang merahlah yang jadi si jahat. [Memangnya putih itu selalu suci dan merah itu selalu berarti kebencian?Kasian dong orang yang buta warna kena tipu terus..abis dia gak tahu bedanya warna-warna itu..].

Konflik kerap terjadi antara mereka. Dan selalu bawang merah dianggap si biang kerok. Bahkan bawang putih dinasehati, "yah, hati-hati saja dengannya..kita gak mau kamu disakiti lagi..paling nanti balik2nya ke kita lagi..", itu yang sering dikatakan teman-teman dekat bawang putih. Padahal mereka tidak tahu apa yang terjadi. Bahwa pergantian jaman memungkinkan pergantian sikap dan bahkan sifat.

Mungkin juga tidak hanya mereka. Tidak hanya teman-teman dekat si bawang putih yang memagari pola pikir sedemikian rupa. Bisa jadi seluruh masyarakat mempercayai hal tersebut, dan kenapa juga mereka harus bersusah payah merombak cerita dongeng utk anak-anak mereka. [Bisa jadi hal ini sama dengan tindakan masyarakat yang mengetahui sejarah itu diubah oleh orde baru..tapi mereka pikir, ngapain susah2 nulis sejarah yang bener trus terbitin buku utk kurikulum baru? Mendingan juga terima jd, karena perbaikan itu lebih sulit jaman sekarang].

Lalu bagaimana dengan nasib si bawang merah? Bagaimana nasibnya kemudian? Mudah-mudahan ini tidak lebih sulit dari mencari jarum di tumpukan jerami. Siapa tahu ada orang yang mau mengubah tradisi..

Saturday, September 25, 2004

Tujuh puluh tujuh kali tujuh..

Pagi ini aku membuka koran dan menemukan sesuatu yang menarik di antara kolom lowongan pekerjaan. Ada sebuah pernyataan dari keluarga X, yang mengatakan bahwa mulai saat ini anaknya yang bernama Y bertanggung jawab atas semua perbuatannya sendiri. Dengan kata lain menyatakan bahwa keluarga tersebut (dicantumkan bapak, ibu serta keluarga besar) tidak lagi mengakui Y sebagai anggota keluarga.

Aku membacanya sampai berulang-ulang. Entah apa yang ada di pikiran mereka pada saat memasukkan pernyataan tersebut ke kolom iklan. Apa mungkin mereka berpikir hubungan keluarga itu semacam hubungan bisnis? Seringkali bila terjadi sengketa, maka sebagai pihak yang bersalah harus menyatakan permohonan maaf disertai janji utk tdk melakukan hal yang merugikan lagi. Well, itu masih sesuai dengan nalar. Tapi kalau hubungan keluarga bisa pakai sistem kontrak (tidak menyinggung kawin kontrak dgn ekspatriat loh) macam tiga bulan kontrak dan selebihnya diresmikan atau ditendang keluar, aku benar-benar bingung!

Banyak pasangan yang sudah menikah bertahun-tahun..namun tidak juga dikarunia anak. Pasti terselip ketidaksiapan mental-material sbg salah satu pembelaan mereka. Nah, kalau ada orang yang sudah diberi anugerah dengan dijadikannya mereka sebagai orang tua, kan sayang sekali kalau anaknya dibuang begitu saja. Apalagi hasil didikan selama inilah yang menjadikan anak tersebut tertib berjalan di dalam garis atau tidak.

[Pernah kubaca baris per baris dalam sebuah buku tebal, manusia layaknya memaafkan tujuh puluh tujuh kali tujuh kali terhadap sesama. Bukankah buah hati melebihi sesama takarannya?]

Friday, September 24, 2004

Mungkin sebuah efek Harlequin..?!

Seseorang pernah berkata kepadaku, yang bisa membuat kita bahagia adalah pilihan yang terbaik. Nah disinilah logika dan rasaku bermain. Adalah sebuah pertentangan, antara seorang ibu yang memilih jalan tenang membawa senang, dengan seorang putrinya yang menjunjung senang membawa senang. Sang ibu berkata bahwa dalam ketenangan, rasa senang dapat dicari. Ibaratnya pepatah jawa, cinta dapat tumbuh karena kebersamaan (atau kata lainnya waktu). Sedangkan sang anak, mungkin karena terlalu banyak membaca harlequin karya sandra brown, ia berpendapat bahwa akan ditemukan seorang Mr. Right!

Keduanya tidak salah dan tidak benar. Karena hitam ada karena putih, dan demikian pula sebaliknya. Tanpa orang-orang yang berpikiran 'tenang', tidak akan ada orang-orang yang berpikiran 'senang'. Jadi tinggal memilih, sesuai dengan kecenderungan gen maupun fisiologis yang mungkin kuat dengan hal-hal yang mengejutkan, atau tidak.

Nah, aku ini termasuk orang yang fleksibel (pembenaran dari tidak konsisten) yang memilih untuk menjadi hitam maupun putih tergantung situasi (baca : situasi, bukannya cari aman loh!). Terkadang seperti sekarang aku memilih untuk menjalankan lakon yang sulit dengan jalan cerita yang mudah. Hal ini nampak lebih menyenangkan (dan menantang!) dibandingkan lakon yang mudah dengan jalan cerita yang sulit. Tapi itu kan pilihan aku..lagipula dari jaman ke jaman, hidup toh tidak akan lepas dari memilih dan dipilih..

Tuesday, September 21, 2004

And the winner goes to..

Total sudah empat kali aku kebobolan. Selagi tertidur lelap, seseorang menyuntikkan pemikiran-pemikiran yang berbentuk abstrak. Mungkin lebih tepatnya bukan seseorang tetapi bayang-bayang masa lalu yang terus menerus mengganduli langkahku. Sungguh melelahkan!

Sebenarnya hampir sepanjang hari aku patut bersyukur. Karena sang logika masih mampu bertahan dan bahkan dapat dikatakan nyaris menang. Ya itulah yang terjadi saat siang menggeser fajar, senja mengusir siang, dan gelap malam menjajah senja. Akan tetapi kekalahan logika mulai terlihat saat malam undur diri dan fajar mulai menghampiri. Keadaan berbalik 180 derajat, dan yang banyak mengumpulkan skor adalah koalisi antara angan, rasa, dan sedikit nurani.

Coba tebak siapa yang terbangun dengan pemikiran baru (atau tepatnya pemikiran berulang) setelah bunga tidur yang melelahkan? Ya pastinya aku lagi! Dan sepanjang pagi aku harus bekerja keras membuang semua angan-rasa-nurani yang masih mengendap. Tidak mungkin kan aku merekonstruksi rencana yang sudah di depan mata. Lembar-lembar tersebut sudah ditulisi dengan pensil atau tinta, walaupun mungkin belum dilegalisir. Tidak mungkin kan aku mengubahnya begitu saja? Atau mungkin??!

Friday, September 17, 2004

Kemana giringan angin membawaku..

Angin menggiring sejuk kepadaku..membekukan waktu sejenak dan memberikan ruang gerak lepas bagi neuron otakku. Aku menilik kembali ragaku yang terasa kosong ini. Mengapa dan mengapa, pertanyaan tersebut dikalikan tujuh kali tujuh kali pun tidak akan membawaku kemana-mana. Secercah jawaban tidak menampilkan batang hidungnya sekalipun. Lalu kembali aku menimbang, mengukur dan membuat hipotesa. Akan kegamangan dan kerentanan yang tiba-tiba melanda raga maupun batinku.

Rupanya yang tak dinyana, aku merindukan kehangatan. Kehangatan yang muncul dari dekapan dan pelukan hangat seseorang. Namun apakah aku merindukan kamu sebagai subjek ataukah sebagai objek? Aku sungguh tidak mengerti..ataukah terlalu malu hati untuk menjawabnya? Kita telah lewati hitungan hari, bulan, dan tahun dengan tidak begitu lancar. Aku katakan tidak lancar karena aku benar-benar mencintai perilakumu terhadapku, dan terutama cintamu yang berlebih hingga mampu pindahkan rembulan bila perlu. Tapi apakah aku mencintai kamu?

Ternyata butuh dua tahun lebih hingga aku dapat menyadarinya. Dahulu pertama bertemu, kamulah senderan batinku yang terbaik. Tempatku berkeluh kesah dan menjadi energi boosterku untuk tumbuh dan berkembang, hingga kini aku menjadi seorang perempuan dalam arti sebenarnya. Inikah karma bagimu? Ingatkah betapa dulu aku menyakiti seseorang karena bersama denganmu? Dan mungkin kesadaranku inilah karma bagiku karena aku sekarang menyadari satu dan dua hal yang membawaku ke seribu pemikiran baru yang mendalam..

Untuk seseorang yang kepadanya kucurahkan semua harapanku, jangan menyiksa dirimu dengan kata-kataku yang tak berarti. Ini hanya sebuah cambukan bagi nuraniku yang akhir-akhir ini tidak berbunyi nyaring. Semoga sang penjala tidak terlalu sibuk untuk menangkap ikan yang satu ini.

Monday, September 13, 2004

Epilog

Seorang pria yang nyaris sempurna, dengan alis lebat yang menukik tajam di sudut atas matanya. Membingkai sepasang mata yang mampu menghujam dan melelehkan hati siapapun tanpa terkecuali. Sungguh pahatan Allah yang menakjubkan, terutama dengan kepribadian yang jauh dari introvert. Dibesarkan dengan pujian dan dukungan yang sangat cukup bahkan cenderung berlebihan. Terbiasa dengan satu aturan hidup, yang didominasi dengan kata "saya".

Lakon setiap orang sungguh sangat berbeda di dunia ini. Karena aku percaya hidup ini hanya sekali maka aku akan membuat pilihan. Sebenarnya ini bukanlah pilihan karena kamu yang telah membuat pilihan tersebut dan aku akan mengikuti alirannya sampai ujung muara.

Tidak ada orang yang sempurna di dunia ini. Kamu bisa memiliki semua yang kamu anggap melengkapi ke'hebat'an kamu. Tapi maaf aku tidak bisa memberi "kita" karena aku tidak ingin hidup dengan takaran bahagia milik orang lain. Aku mempunyai standarku sendiri, dan akan berjuang untuk menggapainya. So, be happy..cause i know you can. And one day I'm gonna find my comfy and natural one..just to get my happiness back..vaya con dios!